Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Buletin Jum,at : Isra Mikraj Dan Keteladanan Abu Bakar Ash-Sgiddiq RA


Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada bulan Rajab adalah Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. Begitu pentingnya, peristiwa ini diperingati oleh sebagian kaum Muslim, termasuk di Tanah Air. 

Menurut riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât (1/213), kejadian ini berlangsung pada delapan belas bulan sebelum Rasulullah saw. dan kaum Muslim hijrah ke Madinah. Peristiwa Isra Mikraj yang diabadikan di dalam Kitabullah ini tentu memiliki banyak ibrah (pelajaran) yang amat penting, baik bagi diri Rasulullah saw. maupun untuk kaum Muslim. Sepanjang Isra Mikraj, Allah SWT memperlihatkan berbagai tanda kebesaran-Nya kepada Rasulullah saw. Pantaslah jika Allah SWT sampai mengingatkan kita semua akan peristiwa ini dalam firman-Nya:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepada dia sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dialah Zat Yang Maha Mendengar lagi Mahatahu (TQS al-Isra’ [17]: 1).

*Arti Penting Bagi Rasulullah saw.*

Dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul sungguh bukanlah amal yang mudah. Mereka mengalami ujian yang amat berat dalam menyampaikan kalimatullah. Mereka berhadapan dengan para penentang dakwah, yakni para pendukung status quo kemusyrikan dan peradaban jahiliah. Bukan saja terjadi benturan secara pemikiran, namun tindakan serangan secara fisik semisal persekusi hingga penganiayan harus dirasakan oleh para utusan Allah SWT tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh Nabi kita, Muhammad saw., hingga Allah SWT pun menguatkan hati beliau dengan firman-Nya:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا... 

Sungguh telah didustakan (pula) para rasul sebelum kalian, tetapi mereka sabar atas pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) atas diri mereka hingga datang pertolongan Kami kepada mereka... (TQS al-An’am [6]: 34).

Beratnya beban dakwah yang dirasakan oleh Rasulullah saw. kemudian dipulihkan oleh Allah SWT. dengan perjalanan Isra Mikraj. Berbagai tanda kebesaran Allah SWT atau kemukjizatan Dia perlihatkan ke hadapan Nabi saw. seperti kendaraan buraq yang dapat melaju kencang; juga wilayah Sinai, Golan dan lainnya yang kemudian hari berhasil ditaklukkan ke dalam wilayah kaum Muslim. Allah SWT pun memperlihatkan sebagian isi neraka. Allah SWT juga mengangkat beliau hingga ke Sidratul Muntaha untuk berdialog dengan-Nya dan menerima perintah shalat.

Seluruh kejadian dalam peristiwa Isra Mikraj sungguh telah mengangkat kembali moril Baginda Nabi saw. dan mampu memupus duka yang telah beliau alami kala itu.

*Keteladanan Iman Abu Bakar ra.*

Jika Isra Mikraj adalah perjalanan yang demikian bermakna bagi Rasulullah saw., lalu apa makna Isra Mikraj bagi kaum Muslim? Dengan indah Ibnu Ishaq menuliskan, “Sungguh pada peristiwa Isra yang beliau jalani dan apa yang beliau sebutkan di dalamnya terdapat ujian, seleksi dan salah satu bukti kekuasaan Allah. Di dalamnya juga terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal, petunjuk dan rahmat pengokohan bagi orang yang mengimani dan membenarkan kekuasaan Allah.” (Ibnu Hisyam, 1/396).

Mendengar peristiwa Isra Mikraj yang mustahil diterima akal, kaum musyrik Quraisy menjadikan peristiwa itu sebagai celah untuk meruntuhkan keimanan kaum Muslim. Mereka menghasut sebagian orang yang telah masuk Islam agar kembali murtad dari agama Allah SWT. Mereka berdalih, bagaimana mungkin seorang manusia dapat menempuh perjalanan yang amat jauh dalam waktu yang amat singkat, kemudian bercerita bahwa dia dinaikkan ke langit dan bercakap-cakap dengan Pencipta dan Pengatur alam semesta ini?

Sebaliknya, hal menakjubkan justru ditunjukkan oleh Abu Bakar ra. Sama sekali tak ada keraguan yang dapat membuat keimanannya guncang. Abu Bakar ra. malah mempertanyakan sikap kaum musyrik Quraisy yang masih tetap mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw., ”Demi Allah, jika itu yang ia katakan, sungguh ia berkata benar. Apa yang aneh bagi kalian?”

Setelah itu Abu Bakar ra. mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau menjelaskan ciri-ciri Baitul Maqdis. Setelah beliau menjelaskan dengan lengkap, Abu Bakar berkata, “Engkau berkata benar. Aku bersaksi engkau adalah utusan Allah!” Rasulullah saw. menjawab, “Engkau Abu Bakar adalah ash-Shiddiq (yang selalu membenarkan)!”

Inilah keteladanan dalam keimanan yang semestinya diikuti oleh umat sepanjang zaman. Pasalnya, di antara ciri seorang Mukmin yang bertakwa adalah mengimani seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah saw., termasuk di dalamnya perkara gaib, tanpa sedikit pun keraguan.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ 

Alif lam mim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang mengimani perkara gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah Kami anugerahkan kepada mereka (TQS al-Baqarah [2]: 3-3).

Sikap Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menunjukkan keteguhan imannya di tengah arus opini yang hendak merusak keyakinan umat Islam terhadap Rasulullah saw. dan ajaran Islam. Sikap seperti inilah yang selayaknya diteladani oleh kaum Muslim pada hari ini. Tidak goyah keimanannya saat kaum kuffâr mencoba menghasut dan menyebarkan provokasi yang menyesatkan. Sedikitpun tidak ada keraguan.

*Ironi Hari Ini*

Mari kita bandingkan dengan kondisi hari ini. Di tengah gempitanya peringatan Isra Mikraj di berbagai pelosok negeri, justru keteguhan iman Abu Bakar ra. tak lagi menjadi teladan. Seruan yang mengajak pada penegakan akidah dan syariah Islam bukan saja ditolak, tetapi bahkan dihadang dengan kriminalisasi dan dilabeli sebagai radikalisme agama.

Hari ini sebagian Muslim justru ramai-ramai menolak dan menghujat agamanya sendiri, bahkan dalam perkara yang telah jelas (qath’i) sekalipun. Di mana-mana kita sering mendengar seruan pluralisme agama, menyamakan risalah Islam dengan agama lainnya. Padahal telah jelas agama yang diterima Allah SWT hanyalah Islam, sementara yang lainnya tertolak. Allah SWT berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ... 

Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam... (TQS Ali Imran [3]: 19).

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85). 

Berbagai ceramah yang menyatakan kebenaran Islam serta menjelaskan kebatilan agama dan kepercayaan lain justru dituding mengancam kebhinekaan. Sebaliknya, ajaran sesat seperti Ahmadiyah atau kelompok Lia Eden dibiarkan terus bercokol. Padahal kebatilan telah tampak dalam keyakinan mereka. Mereka bahkan nyata-nyata telah menistakan ajaran Islam. Padahal Abu Bakar ash-Shiddiq saat menjabat khalifah justru bersegera memerangi nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab dan Aswad al-’Ansi. Sungguh ironi.

Demikian pula hukum-hukum Islam yang statusnya qath’i (tegas), kini banyak diragukan bahkan ditolak oleh sebagian kaum Muslim. Ketika ada sebagian umat yang menyuarakan keharaman pemimpin kafir, misalnya, mereka malah dihujat dengan alasan anti-kebhinekaan, anti-kebangsaan, dll. Padahal nas-nas yang menjelaskan hukum itu telah begitu tegas dan jelas.

Keharaman LGBT yang ditetapkan Rasulullah saw. juga dipertanyakan. Berbagai dalih yang tak masuk akal dan mengada-ada dicari-cari untuk melegalkan keberadaan kemungkaran kaum LGBT.

Seruan penerapan syariah Islam dan penegakan Khilafah Islam juga terus-menerus dikriminalisasi. Mereka menuduh Khilafah sebagai karangan ulama semata dan disuarakan oleh kelompok tertentu saja. Para pencela dan penentang Khilafah seolah mengabaikan pendapat para ulama mu’tabar (terkemuka) yang berabad-abad silam telah menyatakan kewajiban menegakkan Khilafah atas kaum Muslim. Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).

Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

*Teguhkan Keimanan!"*

Wahai kaum Muslim! Mengapa sikap dan keteladanan Abu Bakar ash-Shiddiq belum menjadi pelajaran bagi kita semua? 
Abu Bakar mendapatkan gelar ash-Shiddiq karena tak pernah sehelai rambut pun meragukan risalah Islam. Karena itulah beliau menjadi salah satu dari sepuluh orang yang dijamin mendapatkan jannah. Karena itu pula, jika kita menginginkan kedudukan mulia di sisi Allah SWT, maka teguhlah dalam keimanan, sebagaimana Abu Bakar ra. 

Keteguhan dalam keimanan akan tampak nyata dalam ketaatan pada hukum-hukum Allah SWT. Tanpa ketaatan pada syariah-Nya, iman seseorang tentu cacat. [] 

—***—

*Hikmah:*

Allah SWT berfirman:

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Posting Komentar

0 Komentar